Oleh: Rinto Setiyawan (Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)
beritax.id - Di antara sekian banyak pemikir dan budayawan yang menjadi pelita moral bangsa, Emha Ainun Nadjib atau yang akrab dipanggil Cak Nun, berdiri di tempat yang unik. Ia bukan akademisi formal, bukan pejabat, bukan politisi, tetapi spiritual engineer yang terus-menerus membedah penyakit bangsa dari kedalaman ruhani hingga ke sistem kenegaraan. Salah satu gagasan radikal namun sangat relevan yang beliau ungkapkan adalah: Indonesia ini salah desain struktur tata negaranya.
Cak Nun tak hanya mengkritik perilaku individu dalam sistem, tetapi menyentuh akar: desainnya salah, fondasinya lemah, arsitekturnya cacat sejak awal, dan perbaikannya tak pernah menyentuh inti. Maka wajar jika negara ini terus bocor seperti rumah reyot yang salah hitung pada denah, salah ukur pada pondasi, dan salah pilih bahan bangunan.
Jika negara adalah rumah bersama, maka Indonesia bisa diibaratkan bangunan yang:
Ini bukan keluhan pesimis. Ini adalah diagnosa spiritual dan sosial. Negara ini memang sudah lama salah desain, dan tidak bisa diperbaiki hanya dengan menambal tambal atap. Kita harus menyusun desain baru, mulai dari fondasinya: yaitu struktur ketatanegaraan.
Cak Nun menyebut bahwa sejak awal Indonesia tidak memiliki struktur ketatanegaraan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Bahkan setelah empat kali amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tetap hanya menjadi jargon. Rakyat tidak pernah digambarkan secara nyata dalam struktur negara.
Cak Nun bahkan menyarankan bentuk kerajaan meritokratis, di mana kepemimpinan tidak lagi berdasarkan popularitas, partai, atau kekayaan, tetapi pada kemampuan memahami persoalan dunia dan membimbing rakyat secara ruhani dan intelektual.
Gagasan ini yang dalam banyak forum disebut sebagai “konstitusi langit”, bukanlah khayalan. Ia adalah antitesis terhadap kegagalan konstitusi bumi yang saat ini didominasi oleh elite partai, pemilik modal, dan institusi yang kehilangan arah.
Sebagai bangsa, kita tak bisa terus hidup dalam rumah retak ini. Kita butuh arsitek besar, dan Cak Nun sudah menjadi arsitek spiritual yang menginspirasi. Namun arsitek tidak bisa bekerja sendiri. Ia butuh kontraktor-kontraktor negarawan yang mengeksekusi desain tersebut.
Desain ulang struktur ketatanegaraan bukanlah revolusi berdarah, tetapi transformasi sadar. Di antaranya:
Jika rumah kita terus bocor, lembab, dan nyaris ambruk, apakah kita akan terus tinggal di dalamnya sambil pasrah? Atau kita akan keluar, menyusun ulang gambar kerja, dan membangun ulang rumah bernama Indonesia?
Cak Nun sudah menunjukkan arah. Kini, giliran kita menyiapkan tenaga, alat, dan tekad. Karena jika kita tidak memperbaiki desainnya, maka robohnya bukan lagi sekadar kemungkinan, tapi kepastian.