Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id - Budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun, pernah menegaskan dengan tajam bahwa pemerintah adalah buruh rakyat, bukan majikan. Dalam refleksi mendalam yang terekam dalam berbagai kesempatan dan tertuang dalam naskah panjang “Cak Nun, Pemerintah itu Pelayan Rakyat”. Beliau mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah sadar diri: mereka digaji rakyat, difasilitasi oleh rakyat, dan diangkat untuk melayani rakyat, bukan untuk memerintah seenaknya, apalagi merasa berjasa memberi "bantuan".
Cak Nun menggugat mentalitas pemerintah yang belakangan ini kerap memamerkan program "bantuan" seperti beras miskin (raskin), bansos tunai, makan gratis, hingga sekolah gratis. Padahal semua program itu dibiayai dari pajak rakyat. Kemudian sumber daya alam, sumber daya kelautan, hasil keringat para petani, buruh, pedagang, nelayan, guru. Serta lapisan masyarakat lain yang setiap hari berjuang untuk hidup layak.
Pemerintah sering kali menggembar-gemborkan narasi seolah-olah mereka "dermawan". "Ini rakyat dibantu makan gratis", "Ini bansos supaya rakyat tidak kelaparan". Padahal, kalau kita cermati, rakyat sebenarnya sedang memakan kembali uangnya sendiri. Uang yang sudah dipotong dalam bentuk pajak, retribusi, pungutan, bahkan berbagai iuran lain yang kian memberatkan.
Rakyat Membangun Rumah Bernama Negara
Cak Nun menyindir, "Rakyat membangun rumah yang bernama negara. Pegawai negeri, presiden, menteri, hingga camat, mereka semua adalah buruh rakyat yang dibayar dan difasilitasi oleh rakyat. Tidak ada logika apapun di dunia yang bisa membenarkan kalau mereka malah merasa jadi juragan."
Lebih jauh, Cak Nun mencontohkan bagaimana dalam sistem normal. Pegawai sipil bukanlah penguasa, melainkan pelayan yang patuh pada Undang-Undang dan melayani rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Namun, di Indonesia, rakyat justru diposisikan seolah penonton tak berdaya, sementara para "pelayan" berlagak raja.
Pemerintah gembar-gembor makan gratis, tapi di sisi lain pajak rakyat naik: pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan, pajak transaksi online. Bahkan pajak untuk warung kecil dan lapangan olahraga. Ketika rakyat masih harus membayar mahal untuk beras, listrik, air, BBM, hingga pendidikan. Para pejabat justru mendapatkan tunjangan gaji, rumah dinas, mobil dinas, fasilitas mewah, bahkan uang pensiun seumur hidup.
Tidak cukup di situ, berbagai bentuk pungutan "tak resmi" pun marak di birokrasi, dari level kelurahan hingga kementerian. Sementara rakyat disuruh sabar, menunggu "bantuan" yang sebenarnya adalah hak mereka sendiri.
Revolusi Damai Ketatanegaraan
Melihat kondisi ini, Cak Nun menawarkan solusi mendasar: revolusi damai ketatanegaraan. Revolusi ini bukan sekadar protes jalanan, melainkan sebuah gerakan perombakan struktur dan desain ketatanegaraan secara menyeluruh.
Salah satu usulan konkret adalah membentuk Musyawarah Kenegarawanan Indonesia, yang menghimpun para negarawan sejati dari empat pilar: kaum intelektual, kaum agama/spiritual, kaum TNI/Polri, dan kaum budaya/adat. Mereka yang dipanggil bukan sekadar figur populer, melainkan sosok yang murni nasionalis, terbukti bersih dari praktik perusakan bangsa, dan tidak pernah memanfaatkan jabatan demi keuntungan pribadi.
Musyawarah ini akan melahirkan rancangan struktur ketatanegaraan baru, menyusun draft Amandemen Kelima UUD 1945 yang mengembalikan kedaulatan penuh kepada rakyat, bukan lagi pada partai politik atau segelintir elite.
Ketika kedaulatan benar-benar kembali ke rakyat, tidak ada lagi narasi "pemerintah membantu rakyat". Sebaliknya, pemerintah akan kembali pada kodratnya sebagai buruh dan pelayan, yang bekerja sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat, tanpa pamrih dan tanpa topeng pencitraan.
Penutup
Cak Nun menegaskan, "Bangsa ini harus segera sadar dan memperbaiki niat. Pemerintah adalah buruh rakyat, bukan tuan. Jika tidak, rakyat akan terus ditipu oleh retorika bantuan palsu sambil dipaksa mendorong mobil negara yang mesinnya sudah rusak."
Kini, panggilan itu semakin mendesak. Sudah waktunya kita semua, sebagai rakyat, memahami siapa sebenarnya yang berkuasa, siapa yang digaji, dan siapa yang seharusnya melayani. Karena jika kita terus diam, kelak kita hanya akan menjadi penonton di tanah air sendiri.