Berita

Apakah Indonesia Dipimpin Presiden atau Menteri Keuangan?
Berita Terbaru

Apakah Indonesia Dipimpin Presiden atau Menteri Keuangan?

Oleh: Rinto Setiyawan – Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)

beritax.id Dalam sistem pemerintahan republik, konstitusi menegaskan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Namun dalam praktik pemerintahan di Indonesia pasca reformasi, muncul sebuah fenomena unik: seorang Menteri Keuangan dapat memegang kekuasaan teknokratis, administratif, bahkan legislatif dan yudikatif dalam lingkup fiskal, yang tak jarang melampaui kontrol langsung presiden maupun parlemen.

Antara Teks Konstitusi dan Realita Kekuasaan

Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan:

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”

Secara formal, menteri adalah pembantu presiden. Namun jabatan Menteri Keuangan telah berevolusi menjadi kekuatan pusat dalam tata kelola negara. Ia mengendalikan perencanaan APBN, penetapan kebijakan pajak, pemberian insentif, pengawasan belanja negara, hingga menjadi pihak yang membuat peraturan sendiri melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang ironisnya, memiliki kekuatan layaknya hukum operasional.

Kekuasaan Fiskal = Kekuasaan Absolut

Ketika kekuasaan fiskal tidak diawasi, maka ia menjelma menjadi kekuasaan absolut. Di sinilah bahaya dimulai.

Di Indonesia, Menteri Keuangan telah menjabat selama lebih dari 13 tahun, melampaui batas dua periode jabatan presiden yang maksimal hanya 10 tahun. Dalam periode tersebut, terlihat pola bahwa setiap amandemen Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) selalu menyertakan puluhan frasa yang memberi ruang bagi PMK mengatur secara sepihak.

Misalnya, dalam UU KUP, terdapat 48 frasa yang memberi ruang peraturan lebih lanjut oleh PMK. Ini artinya, Menteri Keuangan bisa:

  • Membuat aturan sendiri,

  • Menafsirkan undang-undang secara sepihak,

  • Menetapkan sanksi dan prosedur audit terhadap rakyat tanpa partisipasi publik.

Lalu di mana presiden? Apakah presiden bisa mengawasi ini semua secara rinci? Atau justru ikut “dilayani” narasi dan data yang dibangun oleh Menkeu?

Pelajaran dari Dunia Korporasi: Bagian Keuangan Bisa Jadi Raja Bayangan

Dalam banyak kasus perusahaan, divisi keuangan bisa menyabotase direksi atau pemegang saham:

  • Mengatur arus kas agar tampak sehat padahal menyimpan bom utang.

  • Menunda pembayaran vendor agar terlihat efisien.

  • Membuat laporan akuntansi bias untuk kepentingan kelompok tertentu.

Fenomena ini dikenal sebagai “shadow governance”, pemerintahan bayangan yang tidak terlihat tapi menentukan semua keputusan. Jika ini terjadi di negara, maka kita tengah menghadapi teknokrasi terselubung.

Negara Hukum atau Negara Pajak?

Ahli hukum perpajakan Dr. Alessandro Rey pernah mengingatkan:

“Indonesia sekarang lebih terlihat sebagai taxstaat (negara pajak) ketimbang rechtsstaat (negara hukum).”

Ketika kementerian teknis seperti Keuangan bisa:

  • Menyusun aturan (fungsi legislatif),

  • Menjalankan kebijakan (fungsi eksekutif),

  • Dan mengendalikan sistem sengketa (fungsi yudikatif di Pengadilan Pajak),
    maka terjadi konvergensi kekuasaan absolut, dan ini sangat berbahaya bagi demokrasi.

Solusi: Kembalikan Kedaulatan Presiden dan Rakyat

  1. Presiden harus mengambil alih arah fiskal secara substansi, bukan hanya seremonial. Narasi besar seperti “kesejahteraan rakyat” tidak boleh didikte oleh kekuasaan fiskal yang sempit.

  2. Batasi masa jabatan menteri sebagaimana presiden dibatasi. Tidak ada alasan rasional seorang menteri menjabat lebih lama dari kepala negara.

  3. Parlemen dan masyarakat sipil harus mengaudit bukan hanya uangnya, tapi juga kekuasaan administratif yang dijalankan Menkeu.

Penutup: Negara Bukan Milik Menteri

Kita bukan sedang menyerang individu, tetapi melawan sistem kekuasaan yang menyimpang. Menteri harus ingat: mereka pembantu, bukan pengendali negara. Indonesia dipimpin oleh Presiden, bukan oleh spreadsheet spreadsheet kementerian.

Dan kalau pun ada yang merasa “lebih sakti dari presiden”, maka rakyatlah yang akan menyadarkan bahwa kekuasaan sejati berasal dari suara terbanyak, bukan dari regulasi terbanyak.