beritax.id - Dalam membumikan gagasan-gagasan besar, terlebih yang bersifat spiritual dan visioner seperti yang disampaikan oleh Cak Nun, dibutuhkan bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi kesungguhan jiwa dan konsistensi tindakan. Gagasan ketatanegaraan ala Cak Nun bukanlah sekadar wacana politik konvensional; ia adalah buah dari kontemplasi panjang, spiritualitas mendalam, dan cinta sejati terhadap bangsa dan rakyat. Maka, untuk menjadi eksekutor gagasan Cak Nun, syarat pertamanya bukan ijazah, bukan jabatan, melainkan sifat “siddiq”.
Cak Nun sering menekankan bahwa “siddiq” bukan sekadar jujur, tapi tenanan, sungguh-sungguh atau konsistensi melakukan sesuatu. Siddiq adalah fondasi karakter Nabi Muhammad SAW, dan dalam konteks ini, adalah fondasi bagi siapa pun yang ingin mengambil peran sebagai pelaksana konsep Konstitusi Langit versi Cak Nun. Kesungguhan ini akan melahirkan kejujuran bukan hanya dalam kata-kata, tapi dalam motif, dalam perjuangan, dan dalam sikap terhadap rakyat.
Jika seseorang sudah tenanan, maka kejujuran bukan lagi sesuatu yang dipaksakan. Kejujuran menjadi wujud keikhlasan dalam memberi (sodaqoh), dalam melayani, dan dalam mengabdi. Maka, dari siddiq lahir amanah. Orang yang sungguh-sungguh dalam hidup, otomatis dipercaya untuk memikul tanggung jawab. Dan dalam konteks ketatanegaraan, amanah berarti layak dipercaya untuk membangun sistem dan mengelola negara demi kepentingan rakyat banyak.
Setelah seseorang bersifat amanah, barulah ia layak tabligh, menyampaikan pengetahuan, menyuarakan gagasan. Tanpa amanah, tabligh hanya jadi alat kampanye kosong atau siasat menipu massa. Tapi dengan fondasi siddiq dan amanah, tabligh menjadi pancaran cahaya ilmu dan kejujuran. Menyampaikan gagasan negara bukan karena ambisi kekuasaan, melainkan sebagai bentuk cinta kepada bangsa dan tanggung jawab kepada rakyat.
Orang yang benar-benar menyampaikan dari lubuk amanah, akan terlihat fathanah—cerdas secara utuh. Kecerdasan di sini bukan sekadar IQ tinggi atau logika tajam, tetapi kecerdasan untuk menangkap “frekuensi” dari langit, seperti yang sering dikatakan Cak Nun. Frekuensi gagasan Cak Nun itu ibarat tegangan tinggi, yang hanya bisa ditangkap oleh “trafo-trafo” manusia yang jernih, stabil, dan siap.
Namun, fathanah tidak muncul begitu saja. Ia akan timbul kalau ada dialektika antara siddiq, amanah, dan tabligh. Tanpa interaksi tiga sifat itu, seseorang hanya akan menjadi pembaca atau pendengar gagasan, bukan penangkap makna. Karena tidak fathanah, akhirnya banyak yang tidak punya kecerdasan untuk melihat keadaan, tidak mampu membaca masa depan, tidak mampu menyusun algoritma tentang apa yang sedang dan akan terjadi dengan negara ini, dunia ini, manusia, warga negara, maupun masyarakat.
Karena tidak fathanah, banyak elite dan pemangku jabatan kita tidak tahu arah. Negara hanya berjalan dengan logika asal jalan, asal ramai, asal viral. Akhirnya, bangsa ini hanya terjebak dalam siklus mengemis, mencari kuasa, dan ikut-ikutan mencuri. Tanpa fathanah, tidak ada strategi. Tanpa strategi, tak akan lahir sistem. Dan tanpa sistem, kita tidak akan pernah menjadi bangsa yang berdaulat sejati.
Namun, bahkan setelah mampu menangkap tegangan itu, seorang eksekutor gagasan tetap harus sabar dan konsisten. Banyak yang semangat di awal, namun menyerah di tengah. Banyak pula yang membaca Cak Nun tapi tak mau benar-benar “mendengarkan”. Konsistensi adalah kunci untuk menjadikan gagasan-gagasan langit itu mendarat di bumi, menjadi sistem, struktur, dan konstitusi yang menyelamatkan bangsa.
Setelah proses panjang itu, siddiq, amanah, tabligh, fathanah, sabar, dan konsisten, barulah seseorang akan sampai pada yakin. Yakin bahwa gagasan Cak Nun bukan utopia. Yakin bahwa konsistensi perubahan bisa dimulai dari yang kecil. Dan yakin bahwa kita tidak sedang membangun negara untuk lima tahun, tapi untuk lima generasi ke depan.
Menjadi eksekutor gagasan ketatanegaraan ala Cak Nun bukan pekerjaan elit, bukan pula eksklusif untuk para akademisi. Ini adalah tugas siapa saja yang mau bersungguh-sungguh dan sabar, mereka yang membuka diri untuk menangkap cahaya, menurunkannya ke bumi, dan membangunnya menjadi rumah besar bernama Indonesia.
Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute