Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Perpisahan Sri Mulyani Indrawati dari Kementerian Keuangan pada 9 September 2025 berlangsung penuh haru. Tangis pegawai, pelukan dengan sang suami, hingga lagu perpisahan “Bahasa Kalbu” seolah menggambarkan betapa besar ikatan Sri Mulyani dengan jajaran Kemenkeu. Namun, di luar pagar gedung megah itu, rakyat justru menyimpan luka.
Bagi publik, Sri Mulyani bukan hanya sosok Bendahara Negara yang dielu-elukan dunia internasional, tetapi juga Menteri Keuangan yang meninggalkan jejak kebijakan yang kejam. Banyak kalangan menilai kepemimpinannya sarat kontradiksi, di satu sisi penuh prestise global, di sisi lain menekan rakyat dengan aturan, pajak, dan birokrasi yang menjerat.
Inilah yang disebut Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) sebagai “10 Dosa Besar Sri Mulyani”.
1. Menciptakan Kemenkeu yang Tidak Transparan
Di era keterbukaan informasi, Kemenkeu justru ditutup rapat. Wartawan dilarang merekam rapat DPR, perekaman audio-visual di kantor pajak dibatasi tanpa dasar hukum. Transparansi publik hilang, sementara rakyat hanya bisa menelan angka-angka yang diumumkan sepihak. Bagi masyarakat sipil, ini adalah bentuk kekejaman: rakyat dipaksa percaya, tapi dilarang tahu.
2. Proyek Coretax: Triliunan Rupiah dalam Kekacauan
Proyek Coretax digadang-gadang sebagai modernisasi pajak. Faktanya, proyek bernilai triliunan itu justru bermasalah, vendor ditendang, source code tidak dikuasai pemerintah, sistem dinilai abal-abal. Dugaan korupsi pun menyeruak. Alih-alih jadi tulang punggung digitalisasi pajak, Coretax berubah menjadi sumber kekacauan dan lubang besar yang harus ditanggung rakyat.
3. Budaya Intimidatif di Direktorat Jenderal Pajak
Alih-alih membangun iklim edukasi dan kemitraan, Direktorat Jenderal Pajak di era Sri Mulyani tumbuh dengan wajah garang. Wajib pajak diperas, ditakut-takuti, bahkan ditekan dengan gaya sewenang-wenang. Aparat pajak bukan lagi konsultan bagi masyarakat, melainkan aparat represif yang mengintimidasi. Kekejaman ini merusak hubungan fundamental antara negara dan pembayar pajak.
4. Aturan Administratif sebagai Jebakan
Regulasi yang lahir di era Sri Mulyani penuh jebakan formal. Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), daftar nominatif, e-reporting dividen, hingga syarat kuasa hukum/konsultan hanyalah contoh. Wajib pajak yang salah langkah secara administratif bisa langsung diproses. Ini adalah kekejaman birokrasi: menghukum bukan karena orang curang, tapi karena terjebak aturan yang berbelit.
5. Ketidakpastian Hukum UMKM
Kasus PPh Final UMKM 0,5% adalah bukti nyata. Sri Mulyani mengumumkan perpanjangan tanpa dasar hukum, membuat UMKM tetap dipotong PPh 23 karena tak bisa membuat surat keterangan. Ratusan ribu UMKM yang seharusnya ditolong justru dikorbankan. Dalam kondisi rapuh, mereka dihantam ketidakpastian hukum. Bukankah ini kejam?
6. Utang Luar Negeri Berbunga Tinggi
Di bawah Sri Mulyani, Indonesia mengambil pinjaman luar negeri dengan bunga lebih tinggi dibanding negara lain. Publik mencium adanya dugaan kickback atau cashback, meski belum terbukti. Namun, fakta yang jelas rakyat harus menanggung cicilan lebih mahal, sementara elite politik dan birokrasi tetap hidup nyaman. Beban yang tidak adil ini dicatat sebagai dosa besar.
7. Penyalahgunaan Regulasi
Sri Mulyani dikenal piawai menggunakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Surat Edaran (SE) untuk menciptakan norma baru. Masalahnya, banyak yang justru bertentangan dengan undang-undang induk. Prosedur pemeriksaan pajak dan SKPKB, misalnya, dipakai untuk menekan wajib pajak. Hukum dijadikan alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan. Sebuah penyalahgunaan yang kejam dan sistematis. Di era Sri Mulyani juga telah tercipta otoritarianisme perpajakan.
8. Dominasi Kekuasaan Fiskal
Sri Mulyani memegang kekuasaan fiskal begitu besar: membuat kebijakan sekaligus mengoperasikan lewat Dirjen Pajak dan Bea Cukai. Kemenkeu di tangannya berubah menjadi “superministry” tanpa kontrol. Checks and balances lumpuh, konsentrasi kekuasaan ini menciptakan tirani fiskal. Bagi rakyat, ini adalah bentuk kekejaman struktural yang sulit dilawan.
9. Bocornya Data Wajib Pajak
Dugaan bocornya jutaan data NPWP adalah tamparan keras. Data pribadi rakyat, yang seharusnya dilindungi justru tercecer dan berpotensi dipakai untuk menekan pihak tertentu. Privasi rakyat diinjak, keamanan informasi diabaikan. Kekejaman modern ini tak kasat mata, tetapi dampaknya menghantui kehidupan masyarakat.
10. Diskriminasi Pajak: Rakyat Kecil Dicekik, Korporasi Dimanjakan
UMKM dengan omzet kecil dipaksa membuat laporan omzet, biaya, hingga pembukuan rinci. Wajib Pajak orang pribadi dikenai tarif progresif hingga 35%. Sebaliknya, korporasi besar seperti properti dan konstruksi hanya membayar PPh Final ringan (2–4% PP 34/2016). Rakyat kecil dicekik, perusahaan raksasa dimanjakan. Inilah wajah paling telanjang dari kekejaman fiskal di era Sri Mulyani.
Haru atau Ironi?
Momen perpisahan penuh tangis pegawai Kemenkeu seakan menjadi simbol penghormatan. Tetapi publik melihatnya sebagai ironi, pegawai menangis melepas seorang menteri yang memberi mereka kenaikan tukin 300%, sementara rakyat kecil ditindas dengan aturan pajak yang rumit dan kebijakan fiskal yang timpang.
Dengan segala kebijakan kontroversialnya, baik yang menyentuh urusan rakyat kecil seperti kenaikan harga BBM dan PPN, hingga urusan elit seperti pemotongan anggaran DPR, Sri Mulyani sering kali dihadapkan pada kritik tajam. Tuduhan "kejam" yang dilontarkan kepadanya, baik dari politikus maupun masyarakat, menjadi cerminan dari ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dianggap lebih mementingkan stabilitas fiskal ketimbang kesejahteraan sosial. Kontroversi ini tidak hanya menjadi catatan hitam dalam kariernya, tetapi juga membuka perdebatan luas tentang etika dan prioritas dalam pengelolaan keuangan negara.
Bagi rakyat, air mata itu tidak menghapus luka. Sri Mulyani boleh dikenang sebagai teknokrat dunia, tetapi di tanah air, banyak yang menyebutnya “Menteri Keuangan yang kejam”, karena kebijakannya meninggalkan bekas pedih pada mereka yang paling lemah.