Mengelola negara bukan sekadar soal kekuasaan, tetapi soal perawatan, seperti menjaga kebun agar tetap subur. Tanah Indonesia kaya, namun sering gersang oleh salah kelola. Padahal jika setiap peran dijalankan dengan jujur dan seimbang, dari pemilik hingga penjaga, kebun ini bisa berbuah manis bagi semua.
Idealnya, Indonesia adalah kebun besar yang penuh potensi. Setiap jengkal tanah bisa subur, setiap pohon bisa berbuah, dan setiap warga berhak menikmati hasilnya. Agar kebun ini berkembang, semua unsur harus bekerja bersama dan saling menjaga.
Inilah Indonesia yang ideal, sebuah kebun yang matang dan tertata, di mana setiap peran dijalankan dengan tanggung jawab, dan setiap warga menikmati hasilnya secara adil.
Indonesia saat ini ibarat kebun luas yang subur tapi tak terawat. Pohonnya tinggi, namun banyak yang layu dan tak berbuah. Setiap elemen kebun kehilangan fungsi, sehingga hasil panen tak pernah sampai ke tangan rakyat.
Kebun bernama Indonesia ini rusak bukan karena tanahnya miskin, tetapi karena pengelolaannya salah arah. Tanpa peran yang jujur dan terkoordinasi, kesuburan hanya tinggal potensi yang tak pernah menjadi kesejahteraan nyata.
Untuk memulihkan Indonesia yang diibaratkan sebagai kebun besar, diperlukan perombakan total dalam sistem pengelolaannya. Perbaikan tidak cukup dilakukan di permukaan, melainkan harus menyentuh akar persoalan: tata kelola, transparansi, dan pembagian hasil yang adil.
Negara membutuhkan tim manajemen baru yang terdiri dari tokoh-tokoh berintegritas, yaitu empat pilar negara yang terdiri dari para intelektual, budayawan, tokoh adat, rohaniawan, serta unsur TNI dan Polri yang bekerja berdasarkan kepedulian, bukan kepentingan pribadi. Mereka harus memastikan seluruh proses berjalan terbuka: mulai dari audit hasil panen, pengawasan distribusi sumber daya, hingga pelaporan yang bisa diakses rakyat.
Ketika pengelolaan dijalankan dengan efektif, efisien dan transparan, maka Indonesia akan subur kembali. Di mana sumber daya alamnya dinikmati bersama untuk kesejahteraan masyarakat, bukan dikuasai segelintir pihak.
Banyak rakyat berharap pergantian presiden akan otomatis membawa perubahan besar. Namun, mengganti pemimpin tanpa memperbaiki sistem hanyalah seperti mengganti mandor di kebun yang manajemennya rusak. Tanpa pengawas yang berfungsi, aturan yang jelas, dan pekerja yang terarah, hasil panen tetap akan gagal.
Masalah utama Indonesia bukan pada siapa yang memimpin, melainkan pada sistem pengelolaan yang lemah dan penuh kepentingan. Presiden baru sering kali terjebak dalam struktur lama yang sudah disusun untuk mempertahankan status quo. Karena itu, perubahan sejati hanya bisa lahir dari pembenahan menyeluruh terhadap manajemen negara yang melibatkan intelektual, budayawan, tokoh adat, rohaniawan, TNI, Polri, dan rakyat sendiri.
Bagi banyak orang, pemilu lima tahunan dianggap sebagai satu-satunya jalan memperbaiki bangsa. Padahal, menunggu pemilu sama seperti membiarkan kebun rusak selama bertahun-tahun hanya karena berharap manajer baru akan memperbaikinya. Sementara menunggu, pohon-pohon terus kering dan tanah kehilangan kesuburan.
Begitu juga dengan Indonesia. Perubahan tidak akan datang hanya dengan pergantian pemimpin, melainkan dari keterlibatan rakyat setiap hari: mengawasi, menegakkan aturan, dan menjaga agar sistem tetap sehat. Pemilu penting, tetapi hanyalah salah satu alat demokrasi, bukan solusi tunggal.
Jika rakyat hanya menunggu momen lima tahunan, kekuasaan berjalan tanpa kontrol dan kerusakan makin dalam. Namun bila rakyat aktif mengawasi dan menuntut transparansi setiap saat, pemilu menjadi bagian dari proses perubahan yang berkelanjutan. Perubahan sejati lahir bukan dari bilik suara, tetapi dari kesadaran rakyat untuk terus menjaga dan merawat kebun besar bernama Indonesia.