Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan pemerintah pusat akan mengambil alih sepenuhnya pengiriman logistik ke Provinsi Aceh melalui jalur udara dari Jakarta dan Medan. Langkah ini diambil setelah akses darat menuju sejumlah wilayah terdampak banjir dan longsor terputus total. “Tapi pusat yang mengambil alih. Dropping dari Jakarta dan dari Medan,” kata Tito di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025).
Menurut Tito, Aceh memerlukan dukungan logistik mendesak karena pasokan pangan tidak dapat masuk melalui jalur darat. Pemerintah daerah tidak memiliki pesawat untuk pengiriman udara, sehingga otomatis meminta bantuan ke pemerintah provinsi maupun pusat.
Mendagri memahami langkah sejumlah bupati yang menyatakan tidak mampu menangani banjir karena distribusi makanan terganggu. Kondisi pascabanjir semakin sulit akibat akses jalan rusak, jembatan putus, dan medan yang tak dapat dilalui alat berat.
Hingga Minggu (30/11/2025), BNPB mencatat 442 korban meninggal, 402 hilang, dan 646 luka-luka akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menegaskan bahwa peristiwa ini menjadi alarm penting bahwa negara tidak boleh hanya bereaksi setelah daerah menyatakan menyerah.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tidak boleh menunggu daerah kewalahan dulu baru pusat bergerak,” ujar Prayogi.
Ia menambahkan bahwa bentuk negara menurut Partai X bukanlah kumpulan pejabat, melainkan entitas yang memiliki kewajiban menjalankan kewenangan secara efektif, efisien, dan transparan demi keadilan serta kesejahteraan rakyat—sebagaimana tertuang dalam prinsip Partai X dalam dokumen resmi.
Partai X menilai bahwa kegagalan ini bukan semata karena skala bencana, tetapi juga akibat lemahnya:
Kondisi Aceh yang “terkunci dari utara dan selatan” menunjukkan bahwa desain kebencanaan belum berbasis ketahanan negara, melainkan sekadar respons teknis.
Sesuai prinsip Partai X, pemerintah adalah “sebagian kecil rakyat yang diberi kewenangan oleh seluruh rakyat untuk membuat kebijakan dan menjalankannya.”
Artinya, kegagalan pemerintah daerah bukan alasan untuk membiarkan keselamatan rakyat terganggu, karena negara memiliki kewajiban struktural untuk mengambil alih ketika unsur pelaksana tak mampu menjalankan kewenangannya.
Analoginya, kata Prayogi, negara adalah bus, rakyat adalah penumpang, dan pemerintah hanyalah sopir. Jika sopir kehilangan kendali, pemilik bus yaitu negara melalui pemerintah pusat harus segera mengambil alih agar bus tidak celaka.
Untuk mencegah krisis serupa berulang, Partai X menawarkan solusi berbasis dokumen “10 Poin Penyembuhan Bangsa”, antara lain:
1. Pemisahan Tegas Negara dan Pemerintah
Agar kegagalan pemerintah daerah atau pusat tidak mencederai keberlangsungan negara dalam melindungi rakyat.
2. Reformasi Struktur Bencana Berbasis Kepakaran
Penanganan kebencanaan harus dikelola oleh lembaga profesional setingkat Dewan Keamanan Negara (DKN), bukan bergantung pada dinamika kekuasaan daerah.
3. Digitalisasi Birokrasi dan Sistem Logistik Nasional
Transformasi digital untuk memutus bottleneck manual dan memetakan jalur distribusi alternatif secara real-time.
4. Musyawarah Kenegarawanan
Melibatkan intelektual, tokoh agama, TNI/Polri, dan budaya dalam menentukan desain ketahanan nasional jangka panjang.
5. Pendidikan Moral dan Berbasis Pancasila
Agar pejabat memahami peran dirinya sebagai pelayan rakyat, bukan pemilik kekuasaan.
Partai X mendorong pemerintah pusat tidak hanya mengambil alih distribusi logistik. Partai X menilai bahwa momentum krisis ini harus menjadi titik balik untuk membangun negara yang benar-benar melindungi, melayani, dan mengatur rakyat secara adil, sebagaimana tujuan kemerdekaan.