Berita

Rusaknya Rakyat Akibat Ulama Menyembah Uang
Berita Terbaru

Rusaknya Rakyat Akibat Ulama Menyembah Uang

Oleh: Rinto Setiyawan – Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Kita sedang menyaksikan fenomena yang memilukan dan mengancam masa depan bangsa: rakyat semakin rusak bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka kehilangan panutan yang tulus. Mereka kehilangan tokoh moral yang mestinya menjadi cahaya di tengah gelapnya kepalsuan kekuasaan. Yang lebih menyakitkan, banyak kaum agama atau ulama hari ini justru memilih untuk menyembah uang.

Saya teringat pernyataan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) yang sangat dalam:

“Kalau rakyat ikut rusak, sebenarnya dia adalah pihak yang dirusak, bukan orang yang ingin merusak dirinya. Dia hanya korban dari kerusakan yang ditimpakan oleh sistem dan pemimpin-pemimpin yang tidak peduli kepada perusakan yang dilahirkannya.”

Cak Nun dengan jernih menunjukkan bahwa rakyat tidak lahir dalam kerusakan, mereka dirusak oleh sistem, oleh elite penguasa, dan juga oleh mereka yang mestinya menjaga nilai yaitu kaum agamawan itu sendiri. Ketika mimbar diubah menjadi corong kekuasaan, ketika doa dikomersialkan, ketika posisi keumatan dilelang kepada kekuatan finansial, maka umat akan kehilangan arah.

Pernyataan Cak Nun itu seolah bersambung langsung dengan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin:

“Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama. Dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya.” (Ihya’ Ulumuddin, Jilid II, hal. 381)

Dalam satu rantai kejatuhan itu, rakyat adalah titik paling bawah yang menerima dampak paling besar. Ulama yang mencintai harta akan membiarkan penguasa bertindak semena-mena. Penguasa yang tidak takut Tuhan akan menindas seenaknya. Dan rakyat akan menerima akibatnya dalam bentuk kemiskinan, kebodohan, dan kehilangan arah spiritual.

Ulama Harus Kembali pada Fungsi Asalnya

Dalam sejarah panjang bangsa ini, kaum ulama, kiai, dan pemuka agama pernah menjadi garda terdepan perjuangan rakyat. Mereka mengorbankan harta dan nyawa demi merdeka, bukan demi mendapat proyek atau jabatan. Tapi hari ini, di banyak tempat, kita melihat ulama yang tidak lagi menjadi penjaga nurani umat, melainkan makelar pengaruh kekuasaan.

Ada yang menggadaikan doa untuk kepentingan kekuasaan. Ada yang membungkam kebenaran agar tetap dilibatkan dalam proyek-proyek negara. Bahkan, ada yang diam saat kebijakan menyengsarakan rakyat kecil, hanya karena takut kehilangan akses pada sumber dana. Inilah yang dimaksud Al-Ghazali sebagai ulama yang dikuasai oleh ambisi duniawi—mereka tidak akan sanggup mengurus rakyat kecil, karena mereka sendiri sudah dikuasai oleh dunia.

Rakyat Berhak Mendapat Pemimpin Moral

Rakyat hari ini butuh ulama yang kembali menjadi penjaga akal dan akhlak umat. Yang mengingatkan penguasa saat salah. Yang menenangkan umat saat gelisah. Bukan yang malah berdiri di samping kekuasaan tanpa keberanian berkata jujur.

Kita butuh pembebasan umat dari kebodohan yang disengaja yakni ketika agama dijadikan alat pembenaran sistem rusak. Rakyat harus kembali diberi hak untuk berpikir kritis, untuk tahu bahwa agama bukan pelayan negara, tapi pelayan Tuhan dan rakyat-Nya.

Dan jika ulama ingin kembali menjadi penjaga bangsa, mereka harus melepaskan diri dari cinta uang dan kekuasaan, serta kembali kepada nilai keikhlasan. Karena negarawan sejati tidak lahir dari kemewahan, tapi dari ketulusan. Begitu pula ulama sejati.

Penutup

Kerusakan rakyat tidak lahir begitu saja. Ia adalah hasil dari kerusakan sistem, rusaknya pemimpin, dan runtuhnya integritas para ulama. Jika bangsa ini ingin diselamatkan, maka tugas pertama kita adalah menyucikan kembali mimbar, menjernihkan kembali suara-suara kebenaran, dan menyingkirkan cinta dunia dari ruang-ruang spiritual.

Karena jika suara Tuhan sudah dikalahkan oleh suara pasar, maka tak ada lagi benteng yang bisa menyelamatkan rakyat dari kehancuran moral.