beritax.id - Sejak Indonesia merdeka, Pancasila dikukuhkan sebagai dasar negara, ideologi bangsa, dan panduan hidup bernegara. Ia bukan hanya lima sila di atas kertas, tetapi jiwa dari Republik. Namun realitas hari ini memunculkan pertanyaan yang getir: apakah Pancasila benar-benar dijalankan? Ataukah ia hanya menjadi mantra kosong dalam pidato dan seremonial pejabat?
Bila kita jujur, Pancasila hari ini lebih sering dilanggar daripada dihayati. Dan penyebab utamanya bukan sekadar pada individu pejabat, melainkan pada cacatnya struktur ketatanegaraan sebuah desain sistemik yang menjadikan implementasi sebagai hal yang nyaris mustahil.
Sistem pemerintahan yang kita anut sekarang ini tidak sepenuhnya mencerminkan cita-cita luhur Pancasila. Ia mengadopsi model demokrasi prosedural ala Barat, namun dijalankan dalam kultur birokrasi feodal dan elitistik. Kedaulatan rakyat hanya berhenti di bilik suara, setelah itu dikendalikan oleh oligarki partai, elite ekonomi, dan lembaga yang saling bersilang kuasa tanpa kejelasan tanggung jawab.
Di tengah keruwetan itu, Pancasila kehilangan daya operasionalnya. Ia tidak bisa menjadi ruh kebijakan, karena kebijakan lebih sering didorong oleh kepentingan jangka pendek dan transaksi jabatan publik. Akibatnya:
Banyak orang tergoda menyalahkan Pancasilanya, seolah-olah ideologinya yang utopis atau tidak aplikatif. Padahal bukan Pancasila yang gagal yang gagal adalah struktur negara yang tidak disusun untuk mewujudkan Pancasila.
Kita tidak pernah secara serius membangun manajemen kenegaraan yang berpihak kepada rakyat. Tidak ada grand design sistem ketatanegaraan yang memastikan agar setiap sila diterjemahkan dalam sistem ekonomi, hukum, pendidikan, dan birokrasi. Akibatnya, yang terjadi adalah penumpukan pelanggaran terhadap Pancasila, tetapi tidak ada sistem yang benar-benar merawatnya.
Jika Pancasila ingin benar-benar diwujudkan, maka perlu perubahan mendasar dalam desain struktur ketatanegaraan. Rakyat harus ditempatkan kembali sebagai pusat kedaulatan (pancer), dan seluruh elemen negara eksekutif, legislatif, yudikatif, militer, intelektual, agama, budaya—harus berfungsi sebagai penopang rakyat, bukan penguasa atas rakyat.
Kita butuh sistem yang bukan hanya demokratis secara prosedur, tapi Pancasilais secara substansi. Kita butuh pejabat yang bukan hanya bersumpah atas nama Pancasila, tapi hidup dengan nilai-nilainya.
Pancasila tidak akan pernah bisa diwujudkan dalam struktur negara atau sistem negara yang cacat. Ia akan terus menjadi jargon, bukan jalan. Dan selama kita mempertahankan sistem yang salah ini, maka sila-sila itu hanya akan menjadi dekorasi dalam konstitusi—bukan realitas dalam kehidupan rakyat.
Sudah waktunya kita akui: bukan Pancasila yang gagal, tapi sistem yang tak pernah serius menjalankannya.