beritax.id - Negara bukan sekadar kumpulan lembaga atau aturan; ia adalah bangunan hidup yang menopang kehidupan rakyat. Maka, sebagaimana rumah atau gedung yang membutuhkan desain matang dan pelaksanaan yang akurat, negara pun demikian. Dalam hal ini, seorang negarawan adalah sekaligus arsitek dan kontraktor dalam membangun struktur ketatanegaraan.
Negara kita ibarat sebuah bangunan yang sejak lama salah desain. Kita terus menambal atap bocor tanpa pernah mengecek struktur utamanya. Udara tidak bersirkulasi: ruang publik pengap oleh ketakutan dan sensor. Saluran air bersih dan air kotor sama-sama mampet, menyebabkan limbah birokrasi dan keringnya pelayanan publik. Tembok lembab, kusen keropos dimakan rayap korupsi, dan kamar mandinya menjadi simbol bau busuk penegakan hukum. Bahkan keramik mengelupas, menandakan hilangnya nilai dan estetika dalam birokrasi dan administrasi. Jika kita tidak segera merombaknya, bangunan ini akan benar-benar roboh.
Sebagai arsitek, negarawan merancang bangunan negara dengan presisi dan nilai. Ia tidak sekadar menggambar kekuasaan, tetapi merancang sistem pemerintahan yang adil, transparan, dan manusiawi. Ia memahami anatomi sosial, dinamika politik, kebutuhan rakyat, serta tantangan global. Gambar kerjanya atau proses bisnis adalah tergambar dengan jelas dalam struktur ketatanegaraan, regulasinya atau konsep pelaksanaan gambar kerja adalah konstitusi, cetak birunya adalah falsafah negara, nilai-nilai Pancasila, dan kepentingan jangka panjang rakyat.
Sebagai kontraktor, negarawan juga memastikan desain itu terwujud nyata. Menyusun tim yang kapabel, memilih bahan yang kuat (institusi yang kredibel), mengatur alur pembangunan (tata kelola negara), dan bertanggung jawab penuh atas hasilnya. Ia hadir di lapangan, bukan hanya memberi perintah dari balik meja. Ia tidak bersembunyi saat bangunan mulai goyah, tapi justru turun tangan menyelamatkan struktur yang ia rancang.
Namun kenyataannya, struktur ketatanegaraan kita saat ini mengalami kerusakan parah. Bangunan negara ini seperti rumah yang salah desain. Atapnya terus bocor, menyebabkan rakyat kebasahan oleh ketidakadilan. Temboknya lembab, tidak kokoh menahan tekanan zaman. Saluran air bersih dan kotor buntu: hak-hak rakyat tersumbat, pengaduan tidak mengalir, keadilan mampet. Udara dalam ruang tidak mengalir keluar masuk dengan baik: kebebasan berpikir dan berekspresi pengap. Keramiknya mengelupas: estetika hukum dan etika publik rusak. Kamar mandinya bau dan pengap: tempat pemurnian (penegakan hukum) malah jadi sumber busuk. Kusen kayu dan rangka atap dimakan rayap, sudah seperti bangunan tidak terurus dan mau roboh.
Desain tata negara kita perlu dirancang ulang. Bukan sekadar tambal sulam peraturan, tapi reformasi menyeluruh terhadap struktur kekuasaan, distribusi kewenangan, relasi pusat-daerah, sistem pengawasan, dan posisi rakyat dalam struktur negara.
Jika rumah ini dibiarkan dalam kondisi seperti ini, penghuninya akan sakit satu per satu. Dan jika tidak ada negarawan sejati yang menjadi arsitek dan kontraktor perubahan, maka runtuhnya rumah bernama Indonesia bukanlah sekadar kemungkinan, tapi keniscayaan.
Sudah saatnya para negarawan bangkit. Bukan sekadar menjadi politisi yang sibuk mengecat ulang tembok rusak, tapi menjadi perancang dan pelaksana transformasi sejati.
Rinto Setiyawan adalah Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, dan Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute.