Ada sesuatu yang aneh dalam sistem hukum kita. Sebuah lembaga baru, bernama Badan Gizi Nasional (BGN), tiba-tiba lahir lewat Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024. Sekilas terlihat sah-sah saja. Presiden memang punya wewenang membuat Perpres.
Tapi ketika ditelusuri lebih dalam, ternyata ada lubang besar dalam dasar hukumnya.
Lubang yang membuat keberadaan BGN jadi pertanyaan serius: Apakah kita sedang menyaksikan bentuk baru dari “penjajahan regulasi”?
Hierarki Hukum di Indonesia
Dalam sistem hukum kita, setiap aturan punya tempat dalam tangga hierarki yang jelas:
Logikanya sederhana:
Aturan yang lebih rendah harus bersandar pada aturan yang lebih tinggi. Tidak boleh ada peraturan yang muncul tanpa dasar hukum dari atasnya.
Tapi BGN “Melompat Tangga”
Masalah muncul di sini.
Perpres No. 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional dibuat tanpa ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang menjadi dasar.
Artinya, pembentukan BGN langsung melompat dari UUD ke Perpres, melewati dua tangga penting UU dan PP.
Padahal Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah jelas mengatur urutan itu.
Dengan kata lain, BGN lahir dari jalur pintas hukum. Bukan lewat mandat undang-undang, tapi lewat keputusan sepihak eksekutif.
Mari kita lihat susunan hukumnya:
Jadi, secara hukum, Perpres ini berdiri ngambang di udara.
Tidak ada “jembatan” legal yang menghubungkannya dengan undang-undang maupun peraturan pemerintah di atasnya.
Sekilas, mungkin terlihat sepele: “Ah, cuma lembaga baru soal gizi.” Tapi dalam sistem hukum, ini preseden serius.
Ketika Presiden bisa membuat lembaga baru tanpa dasar UU, maka kewenangan legislatif (DPR) terpinggirkan. Inilah yang disebut para ahli sebagai bentuk penjajahan regulasi yaitu ketika kekuasaan eksekutif memperluas wilayah hukumnya tanpa izin dari konstitusi.
Lebih berbahaya lagi, tindakan seperti ini bisa membuka jalan bagi lembaga-lembaga baru lain yang juga “lahir tanpa dasar.”
Hari ini mungkin soal gizi. Besok bisa soal ekonomi, sosial, bahkan keamanan.
Celah yang Tak Bisa Disentuh Hukum
Biasanya, jika ada aturan bermasalah, kita bisa mengujinya lewat judicial review (JR):
Tapi dalam kasus BGN, JR jadi sulit dilakukan.
Kenapa?
Karena Perpres ini tidak punya “undang-undang induk” untuk dibandingkan.
Akibatnya, Perpres ini kebal dari pengawasan hukum formal. Itu seperti membuat aturan di “wilayah abu-abu” hukum tidak bisa disentuh, tapi mengikat semua orang.
Partai X percaya, jalan keluar tidak cukup lewat kritik atau koreksi peraturan satu per satu. Kita butuh pembaruan mendasar pada sistem ketatanegaraan. Itu hanya bisa dicapai lewat Amandemen UUD 1945 bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk mengembalikan semangat aslinya bahwa negara ini berdiri dari, oleh, dan untuk rakyat.
Sebelum bicara amandemen, bangsa ini perlu berhenti sejenak dan bermusyawarah dengan akal sehat serta hati yang jernih.
Partai X mengusulkan dibentuknya Musyawarah Kenegarawanan Nasional, sebagai forum kebangsaan yang melampaui kepentingan jangka pendek. Dimana musyawarah ini harus melibatkan empat pilar utama bangsa, Kaum Intelektual, Rohaniawan, Budayawan atau Tokoh Adat, dan TNI-Polri.