beritax.id - Indonesia kini sedang terjebak dalam krisis pendidikan politik yang dalam dan berlapis. Tidak hanya soal konflik antarlembaga, stagnasi kebijakan, atau rendahnya kepercayaan publik terhadap partai dan parlemen, tetapi juga gejala disintegrasi wilayah dan penduduk yang membahayakan fondasi kebangsaan kita.
Krisis ini bukan semata-mata disebabkan oleh elite yang tidak bermoral, melainkan oleh kesalahan struktural dalam desain ketatanegaraan. Sebuah sistem yang salah dalam menempatkan kekuasaan, tidak transparan dalam pertanggungjawaban, dan gagal menyalurkan aspirasi rakyat secara utuh.
Secara definisi, menurut Sekolah Negarawan X Institute, politik adalah upaya dan bentuk perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dan menjalankannya secara efektif, efisien, dan transparan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Namun dalam praktik politik hari ini, definisi itu telah dibajak oleh orientasi kekuasaan semata. Kekuasaan direbut tanpa idealisme, dijalankan tanpa integritas, dan dimanfaatkan bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk mengamankan posisi, kroni, serta kepentingan kelompok.
Inilah yang disebut sebagai “kejahatan politik”: ketika kekuasaan tidak lagi menjadi sarana untuk menciptakan keadilan sosial, melainkan alat untuk memperkaya diri dan melanggengkan dominasi elite. Politik pun kehilangan akarnya sebagai perjuangan moral.
Krisis ini tidak hanya terjadi dalam ruang tertutup rapat parlemen atau istana kekuasaan. Ia bermunculan dalam berbagai bentuk:
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian sistem pemerintahan dan membuka jalan bagi kekuatan-kekuatan radikal atau oportunis untuk mengisi kekosongan kepercayaan rakyat.
Semua gejala itu bukan berdiri sendiri. Akar sesungguhnya adalah kesalahan desain dalam struktur ketatanegaraan kita. Sejak reformasi, kita mengadopsi demokrasi prosedural tanpa membenahi sistem tata kelola kekuasaan secara substansial.
Hasilnya, terjadi tumpang tindih fungsi lembaga, ketidakseimbangan antara cabang kekuasaan, dan kekaburan siapa yang bertanggung jawab atas apa. Dalam kekacauan ini, kekuasaan lebih mudah disalahgunakan karena tidak ada sistem kontrol yang efektif dan terdesain dengan baik.
Mengatasi krisis dalam hal perebutan kekuasaan ini tidak cukup dengan mengganti pejabat, menggugat putusan, atau sekadar meneriakkan slogan. Yang kita butuhkan adalah reformasi struktural ketatanegaraan yang menyeluruh dengan tujuan mengembalikan politik ke makna sejatinya.
Sistem negara harus dibangun untuk memfasilitasi perjuangan politik yang berlandaskan nilai dan etika. Kekuasaan harus dirancang dengan batas, kontrol, dan orientasi pelayanan publik. Keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan harus diperluas, bukan dibatasi.
Kejahatan politik bukanlah penyakit moral elite semata, tetapi tanda bahwa negara sedang berjalan dengan fondasi struktur yang keliru.
Jika kita terus mempertahankan sistem ini, maka keadilan dan kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi slogan kosong, sementara kekuasaan terus diperdagangkan di ruang gelap transaksi politik.
Sudah saatnya kita hentikan “kejahatan politik” dengan membenahi dapurnya: struktur negara itu sendiri.
Karena tanpa rumah yang sehat, semua perabot kebangsaan hanya akan berdebu dan rapuh.