beritax.id - Indonesia telah merdeka selama lebih dari tujuh dekade. Namun bagi jutaan rakyatnya, kemerdekaan itu terasa sebatas seremoni tahunan, bendera dikibarkan, lagu dikumandangkan, tetapi rasa memiliki terhadap negara sendiri tak kunjung hadir. Di balik demokrasi prosedural, pilkada, dan pemilu yang diklaim sebagai wujud kedaulatan rakyat, tersembunyi satu cacat sistemik yang belum juga diperbaiki: struktur negara yang salah desain.
Negara yang ideal semestinya dirancang layaknya korporasi publik raksasa, di mana:
Namun yang terjadi di Indonesia justru kebalikannya. Negara dirancang tanpa kerangka manajemen yang rapi, dengan tumpang tindih fungsi, pengawasan internal yang lemah, serta sistem representasi rakyat yang justru dikuasai oleh partai-partai politik yang telah lama tercerabut dari akar masyarakat.
Dalam kekosongan struktur tersebut, masuklah aktor-aktor non-negara yang lebih disiplin, lebih sistematis, dan lebih agresif, yaitu oligarki. Oligarki ini terdiri dari konglomerat, elit partai, dan jaringan media besar yang menguasai opini publik, kebijakan fiskal, dan penempatan jabatan strategis.
Lembaga tinggi negara seperti Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, bahkan lembaga penegak hukum, tak luput dari infiltrasi kekuasaan modal. Rakyat yang semestinya menjadi subjek kedaulatan, justru direduksi menjadi objek birokrasi dan target kebijakan ekonomi pasar. Negara yang seharusnya menjadi pelindung, berubah menjadi instrumen bagi para pemodal.
Situasi ini ibarat sebuah perusahaan publik yang dikuasai oleh manajemen bayangan dan pemegang saham gelap, sementara pemilik sejati (rakyat) tidak tahu-menahu apa yang terjadi, tidak diundang dalam rapat, dan hanya menerima informasi dalam bentuk propaganda pencitraan.
Pendiri bangsa Tan Malaka, dalam karya-karyanya seperti Madilog dan Menuju Republik Indonesia, sudah sejak awal menyuarakan bahwa negara bukan alat kekuasaan elite, melainkan alat perjuangan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Ia mewanti-wanti bahwa sistem parlementer liberal tanpa pengawasan rakyat langsung, akan membuka jalan bagi penguasa modal dan borjuis kecil menguasai negara dari dalam.
Kini, peringatan itu menjadi kenyataan. Demokrasi Indonesia telah dibajak, bukan oleh kudeta militer, melainkan oleh aliansi partai politik dan oligarki yang menguasai segala lini: dari regulasi hingga pengadilan, dari media hingga dana kampanye.
Sementara itu, rakyat disodori hiburan, disuguhi bansos yang tidak sebanding dengan nilai kekayaan negara yang terus dikuras, dan diposisikan bukan sebagai pemilik negara, tetapi sekadar penonton dalam teater kekuasaan.
Reformasi tidak cukup. Undang-undang baru pun tidak menyentuh akar masalah. Solusinya adalah rekonstruksi total atas sistem negara melalui Amandemen Kelima UUD 1945. Amandemen ini harus menjadi proyek sejarah untuk membalikkan posisi rakyat, dari hanya memiliki kedaulatan secara simbolik, menjadi penguasa substansial negara.
Beberapa prinsip dasar yang harus dibangun:
Inilah saatnya rakyat tidak hanya sekadar memilih dalam pemilu, tetapi memiliki dan mengendalikan negara secara nyata. Sistem harus dirancang seperti korporasi publik yang sehat: profesional, transparan, akuntabel, dan dikendalikan oleh pemilik sahnya, rakyat Indonesia.
“Kembalikan Indonesia Padaku” bukan hanya seruan emosional, tapi seruan peradaban, seruan untuk membangun sistem negara yang rasional, modern, dan berpihak kepada rakyat sebagai pemegang saham utama bangsa ini.