“Jika konsep ketatanegaraan Cak Nun hanya dianggap ‘ngibul’, maka pertanyaannya: siapa sebenarnya yang tidak siap dengan cahaya? Apakah rakyatnya yang gelap, atau jamaahnya sendiri yang menyelimutinya?”
beritax.id - Di tengah hiruk-pikuk bangsa yang kehilangan arah, saya justru menemukan petunjuk paling terang dari sosok spiritualis dan budayawan, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Gagasan beliau tentang konstitusi langit, kerajaan meritokratis, dan bangsa berdaulat penuh sebagai pancer bukan sekadar retorika panggung, tapi fondasi peradaban baru yang begitu berani dan otentik. Tapi anehnya, ketika konsep ini mulai diwujudkan secara struktural oleh para muridnya sendiri, justru penolakan datang dari lingkar dalamnya, dari sebagian Jamaah Maiyah itu sendiri.
Dalam Islam, kita mengenal tiga golongan umat:
Ini adalah mereka yang terang-terangan menolak kebenaran. Bila disandingkan dengan konteks Maiyah, ini adalah orang-orang di luar lingkar Maiyah yang memang sejak awal tidak pernah mengakui kebenaran atau relevansi gagasan Cak Nun tentang sistem ketatanegaraan baru. Mereka skeptis, sinis, bahkan mencemooh.
Namun menariknya, golongan ini justru tidak berbahaya. Karena penolakannya terang, dialog masih mungkin terjadi, bahkan tak jarang, sejarah mencatat golongan ini bisa berbalik lebih cepat menjadi orang yang beriman, jika kesadaran itu datang dengan jujur.
Mereka inilah yang percaya dan meyakini bahwa konsep yang digagas Cak Nun bukan hanya mungkin, tapi layak diperjuangkan dan dibumikan. Bukan sekadar pengagum, tapi para pelaksana gagasan, pembawa obor, perancang sistem, penyusun draft, penyebar cahaya. Mereka adalah golongan pertama dalam tulisan saya sebelumnya, mereka yang optimis dan bergerak.
Inilah golongan yang paling berbahaya. Mereka ada dalam lingkar, bahkan mungkin di barisan depan. Ucapannya tampak mendukung, tetapi hatinya ragu, penuh cemooh diam-diam. Di depan mengangguk, di belakang mengejek. Di panggung memuji, di forum pribadi menyebut “gagasan ini mustahil,” “Cak Nun itu utopis,” “ini semua ngibul.”
Mereka bukan penentang luar, tapi penentang dalam. Mereka yang jika tidak hati-hati, akan menjadi virus yang merusak dari jantungnya sendiri.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana sebagian dari mereka yang duduk bersama Cak Nun, yang bahkan menyebut dirinya sebagai "pewaris semangat Maiyah", justru menjadi pembunuh paling halus terhadap cita-cita beliau.
Saat saya dan rekan-rekan seperti Prayogi dan Azizah menyusun konsep ketatanegaraan baru berdasarkan tafsir, nilai, dan narasi yang disampaikan Cak Nun bertahun-tahun di forum Maiyah, ada yang malah sinis dan menyebut “visi seperti ini mustahil.” Bahkan ada yang menyindir bahwa rakyat tidak mungkin bisa berdaulat. Bukankah itu berarti secara tidak langsung mengatakan bahwa Cak Nun sedang ngibul?
Maiyah seharusnya bukan sekadar forum sambat dan tafakur. Ia adalah pasukan jantung, kata Cak Nun sendiri. Maka tugas kita bukan hanya merenung, tapi bertindak membangun arsitektur baru negeri ini.
Jamaah Maiyah tidak boleh terjebak dalam kemunafikan intelektual. Jangan sampai mulutnya berkata “Cak Nun itu guru bangsa,” tetapi tindakannya justru mematikan ide-ide beliau secara sistematis—dengan dalih "realitas", "politik praktis", atau "keraguan teknis".
Penutup: Mari Kita Pilih
Dalam perenungan ini, saya hanya ingin mengajak kita semua terutama sesama jamaah Maiyah untuk jujur kepada diri sendiri:
Apakah kita termasuk golongan kafir yang terang-terangan menolak?
Atau golongan mukmin yang siap bertindak?
Atau justru golongan munafik, yang menjilat cahaya dengan mulut tapi menusuknya dengan keraguan?
Karena sesungguhnya, jika negara ini ingin berubah, bukan hanya pemimpinnya yang harus berani. Tapi rakyatnya, termasuk kita para jamaah spiritual—juga harus siap menjadi penerima amanat langit.
Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute