beritax.id – Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menanggapi dengan keras pernyataan Kementerian Keuangan terkait “belanja perpajakan” sebesar Rp515 triliun yang dinilai sebagai bentuk bantuan pemerintah kepada rakyat.
Pernyataan ini disampaikan oleh Dirjen Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, dalam konferensi pers APBN KiTa, Selasa (17/6), di mana ia mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia menikmati potensi pajak sebesar Rp515 triliun yang tidak ditarik oleh negara, utamanya berasal dari pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap bahan pokok, makanan, jasa kesehatan, transportasi umum, hingga jasa pendidikan.
“Ini dinikmati mayoritas oleh rumah tangga, lebih dari 54%,” kata Febrio dalam konferensi pers tersebut.
Namun, IWPI justru menilai narasi ini sangat menyesatkan dan cenderung menyudutkan rakyat sebagai pihak yang menikmati “kebaikan” dari pemerintah, seolah-olah negara telah “berkorban” untuk tidak menarik pajak dari kebutuhan dasar masyarakat.
Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, memberikan tanggapan keras atas pernyataan tersebut.
“Istilah ‘belanja perpajakan’ itu keliru secara konsep. Kalau disebut ‘belanja’, seharusnya ada dana yang keluar. Tapi dalam hal ini, rakyat tidak dikenai pajak karena memang sesuai dengan amanat undang-undang. Itu bukan ‘bantuan’ dari pemerintah, itu kewajiban negara!” tegas Rinto.
Rinto juga menyebut bahwa nilai Rp515 triliun yang disebut Kemenkeu itu sejatinya hanyalah asumsi potensi PPN yang tidak pernah dipungut, karena memang dikecualikan secara sah dalam Pasal 4A Undang-Undang PPN, yang menyebut bahwa barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan layanan kesehatan tidak dikenakan PPN.
Pernyataan Kemenkeu yang menyebut rakyat “dibantu” oleh negara kembali memantik diskusi publik mengenai hubungan antara rakyat dan pemerintah. Dalam sebuah sarasehan budaya tahun 2019, budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah menegaskan:
“Saya tidak bisa dipanggil Presiden. Saya yang berhak manggil Presiden karena aku rakyat. Aku yang bayar,” kata Cak Nun dalam kanal YouTube Najwa Shihab.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pemerintah, termasuk pejabat keuangan, bukanlah entitas yang menyantuni rakyat, tetapi justru bekerja menggunakan uang rakyat.
IWPI menilai, narasi seperti ini berbahaya karena justru dapat menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak. Rinto menegaskan bahwa penyebab menurunnya penerimaan pajak bukan karena rakyat enggan membayar. Melainkan karena rakyat sudah muak melihat praktik penyalahgunaan anggaran.
Hal ini tercermin dari pernyataan yang ramai dibagikan di media sosial, termasuk akun Instagram @kompilasiraporkabinet:
“Rakyat itu udah paham kalau negara itu butuh duit buat sekolah, rumah sakit, subsidi, jalan, semua kan butuh APBN, tapi kalau tiap kali rakyat bayar pajak, yang naik justru mobil pejabat, bukan kualitas hidup rakyat, ya maaf-maaf nih, rakyat merasa ditipu secara legal nggak sih…”
IWPI menyerukan agar Kementerian Keuangan segera mengevaluasi strategi komunikasinya dan menghentikan narasi-narasi yang menyiratkan bahwa rakyat “berutang budi” karena tidak dikenai pajak atas bahan pokok.
“Jangan biarkan rakyat merasa jadi beban negara. Justru negara hidup dari rakyat,” tutup Rinto.