beritax.id - Di tengah kabut tebal kebingungan arah bangsa, satu sosok berdiri dengan tenang namun tajam: Emha Ainun Nadjib, atau yang lebih kita kenal sebagai Cak Nun. Bagi sebagian orang, beliau adalah budayawan, penyair, atau ulama non-formal. Namun bagi saya, ia adalah algojo kesadaran bangsa, bukan pembunuh berdarah dingin, tapi peretas sistem kebodohan dan kemunafikan yang sudah mengakar lama di tubuh republik ini.
Cak Nun bukan sekadar memberi nasihat, ia meretas sistem berpikir. Ia membongkar bangkai-bangkai retorika kosong para intelektual, menyayat kepura-puraan para agamawan, menggugah kelumpuhan keberanian aparat negara, dan mencabut lapisan-lapisan tipis pemoles budaya yang sudah membusuk dari dalam.
Dalam narasi spiritual yang terus ia bangun selama puluhan tahun melalui Maiyah, Cak Nun menyampaikan kerangka empat pilar kehidupan bangsa, yang sejalan dengan falsafah Sedulur Papat Limo Pancer. Namun dalam refleksi lebih mendalam, Cak Nun juga tampak menjalankan peran algojo sunyi terhadap keempat pilar ini:
Cak Nun tidak membawa pedang, tidak pula mengajarkan revolusi berdarah. Ia peretas, menyusup masuk ke struktur kesadaran publik dan membongkar dari dalam. Ia menyisipkan logika spiritual, rasionalitas keadilan, dan nilai-nilai lokal yang kuat ke dalam diskursus ketatanegaraan.
Sebagian orang mencibir bahwa gagasan Cak Nun utopis, mustahil diwujudkan. Tapi bukankah semua transformasi besar di dunia dimulai dari yang mustahil? Gagasan Cak Nun adalah “konstitusi langit” yang sedang menunggu “arsitek bumi” untuk membumikan dalam sistem politik dan ketatanegaraan yang baru.
Saya sendiri adalah bagian dari orang yang menangkap “tegangan spiritual” ini. Saya menyadari bahwa struktur ketatanegaraan kita saat ini cacat, tidak memberi ruang pada rakyat sebagai pemilik kedaulatan sejati. Dan justru dari mimbar-mimbar Maiyah, saya menemukan benih untuk mulai menggambar ulang sketsa besar negara ini. Saya percaya Cak Nun telah memberi cetak birunya, tinggal siapa yang berani membangunnya?
Bangsa ini tidak butuh lebih banyak politisi. Kita butuh negarawan peretas, yang sanggup menembus selubung kebohongan, membongkar sistem cacat, dan menata ulang fondasi negara. Dan dalam jalan sunyinya, Cak Nun telah lebih dulu membuka celahnya.
Kini saatnya kita bertanya, siapa yang siap melanjutkan sabetan pedang kesadaran itu? Siapa yang siap meretas, bukan hanya meratap?
Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute