Berita

Cak Nun dan 5 Tahapan Spiritualitas dalam Rancang Bangun Negara
Berita Terbaru

Cak Nun dan 5 Tahapan Spiritualitas dalam Rancang Bangun Negara

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, dan Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Bangsa Indonesia bukan hanya membutuhkan reformasi kelembagaan, perbaikan regulasi, atau efisiensi birokrasi. Di balik semua itu, Indonesia membutuhkan revolusi spiritual dalam merancang bangunan negara. Dalam berbagai pengajiannya, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) sering mengingatkan bahwa bangun negara sejatinya bukan hanya dengan akal dan hukum, tetapi dengan kesadaran spiritual dan moralitas ilahiyah.

Dari pemikiran-pemikiran beliau, saya menangkap adanya lima tahapan spiritual yang menjadi fondasi dalam proses rancang bangun negara. Kelima tahapan ini tidak bisa dilompati. Tanpa kelima tahapan ini, negara hanya akan menjadi bangunan administratif tanpa jiwa, bahkan bisa menjadi mesin kekuasaan yang zalim terhadap rakyatnya sendiri.

1. Kudus: Negara yang Disucikan

Tahap pertama adalah kudus, yang berarti suci dan terbebas dari niat jahat. Sebuah negara yang ingin berdaulat dan bermartabat harus memulai dengan niat yang bersih, niat untuk benar-benar melayani rakyat, bukan melayani elite atau kepentingan asing. Kudus juga berarti membersihkan niat dalam proses politik, anggaran, dan pemerintahan. Tanpa kudus, semua perencanaan kebangsaan hanya akan menjadi tipu daya kekuasaan.

2. Salam: Negara yang Mengamankan dan Mengayomi

Salam bermakna damai dan aman. Setelah niat suci, negara harus mampu mengamankan warganya, bukan malah menakut-nakuti. Negara harus menciptakan stabilitas psikologis, politik, dan ekonomi, di mana rakyat merasa aman dalam berpikir, bersuara, bekerja, dan beribadah. Negara yang membawa salam adalah negara yang tidak represif, tidak eksploitatif, dan tidak menindas rakyatnya sendiri.

3. Mukmin: Negara dan Rakyat yang Saling Percaya

Mukmin berarti percaya dan dipercaya. Di tahap ini, negara dan rakyat memiliki hubungan kepercayaan timbal balik. Rakyat percaya bahwa negara melindungi dan melayani mereka. Negara percaya bahwa rakyat adalah manusia merdeka yang bisa diajak bermusyawarah dan gotong royong. Tanpa mukmin, relasi negara-rakyat berubah menjadi kecurigaan, kontrol, dan manipulasi. Tidak ada pembangunan yang tumbuh dari tanah yang tidak percaya.

4. Muhaimin: Negara yang Memelihara dengan Konsistensi

Muhaimin berarti pemelihara. Ini adalah fase kontinuitas dan ketekunan. Negara tidak cukup hanya niat baik sesaat, tetapi harus konsisten dalam menjaga nilai, visi, dan pelayanan. Negara harus terus memelihara hukum, moralitas publik, dan keadilan. Muhaimin adalah antitesis dari negara yang hanya hadir saat Pemilu, lalu menghilang saat rakyat kesusahan. Negara yang muhaimin adalah negara yang setia mendampingi rakyat dari lahir hingga meninggal.

5. Aziz: Negara yang Agung dan Mulia

Aziz berarti perkasa dan mulia. Ini adalah hasil dari empat tahap sebelumnya. Negara yang suci, aman, dipercaya, dan konsisten akan menjadi negara yang berwibawa, disegani dunia, dan mampu berdiri di atas kaki sendiri. Negara seperti ini tidak tunduk pada oligarki, tidak takut terhadap tekanan asing, dan tidak menjual martabat bangsanya demi utang luar negeri.

Kegagalan Mewujudkan Kelima Tahapan Ini

Apabila sebuah negara tidak mampu mewujudkan kudus, salam, mukmin, dan muhaimin, maka mustahil Indonesia bisa menjadi Aziz, apalagi Jabbar (kuat) dan Mutakabbir (berkebesaran secara ilahiyah). Karena untuk menjadi negara besar, harus dimulai dari kesucian niat dan kemurnian pengabdian.

Lihatlah kondisi kita saat ini:

  • Kekuasaan tanpa kesucian.
  • Penegakan hukum tanpa rasa aman.
  • Pemerintahan tanpa kepercayaan rakyat.
  • Birokrasi tanpa pemeliharaan nilai.

Maka jangan heran jika Indonesia tidak pernah menjadi bangsa yang agung, karena gagal membangun dari tahapan yang paling mendasar.

Kesimpulan: Memanggil Eksekutor Gagasan Cak Nun

Pemikiran Cak Nun ini bukan hanya refleksi, tapi blueprint spiritual untuk bangsa. Namun, blueprint ini akan sia-sia jika tidak ada yang mengeksekusi. Dibutuhkan manusia-manusia siddiq (tenanan/sungguh-sungguh), amanah (bertanggung jawab), tabligh (mampu menyampaikan), dan fathanah (cerdas menangkap frekuensi langit).

Saya dan mungkin banyak lainnya, telah tersentuh oleh frekuensi tersebut. Tapi agar energi ini nyata, kita perlu mengorganisir, menggerakkan, dan membumikan gagasan-gagasan Cak Nun. Indonesia harus kita bangun dari kudus, menuju aziz.

Rinto Setiyawan
Ketua Umum IWPI | Majelis Tinggi Partai X | Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute