Oleh: Rinto Setiyawan – Wakil Direktur Sekolah Negarawan, X Institute
Kita hidup di zaman ketika rakyat terus dibuai ilusi seolah kedaulatannya dijunjung tinggi, padahal kenyataannya ia telah lama ditanggalkan oleh sistem. Sistem tata negara Indonesia hari ini tidak memberi ruang bagi rakyat untuk sungguh-sungguh berdaulat. Bahkan Presiden yang terpilih pun, dengan jujur, harus kita akui bukanlah mandataris rakyat, melainkan hasil pengusulan partai politik sebagaimana tertulis dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Satu hal paling mendasar yang telah membawa kita ke jurang ketidakadilan dan kebuntuan reformasi adalah kesalahan desain sistem tata negara, di mana kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat oleh satu orang: Presiden. Akibatnya, beban terlalu besar ditumpukan pada satu posisi, sementara mekanisme kontrol rakyat terhadap negara menjadi semu. Presiden sekaligus menjadi pengambil keputusan strategis, pelaksana kekuasaan, sekaligus simbol pemersatu bangsa. Tidak ada sistem institusional yang bisa bekerja baik dalam model seperti itu.
Dan kita bisa lihat hasilnya hari ini:
Rakyat telah kehilangan “pancer” dalam sistem negara ini.
Rakyat tidak lagi menjadi pusat. Yang tampil ke depan justru ego-ego sektoral dari kelompok elit: politik, agama, keamanan, ekonomi, dan budaya. Tidak ada lagi harmoni dalam tubuh negara. Setiap pilar yang seharusnya menopang negara kini berjalan sendiri-sendiri, tanpa koneksi batin ke rakyat.
✊ Solusi: Presiden Harus Keluarkan Dekrit Restorasi Kedaulatan
Kondisi seperti ini tidak bisa ditambal dengan narasi.
Tidak bisa pula diatasi dengan imbauan moral. Karena ini adalah masalah sistemik. Karena itu pula, jalan keluarnya harus sistemik.
Dan solusi paling aman, paling konstitusional namun tetap visioner, adalah:
➡️ Dekrit Presiden untuk mengembalikan sistem ketatanegaraan Indonesia ke arah yang lebih menjamin kedaulatan rakyat.
Mengapa melalui dekrit?
Karena semua lembaga tinggi negara hari ini sedang mengalami malfungsi, baik secara fungsional maupun moral. Reformasi dari dalam terbukti lambat dan tidak efektif. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dalam kondisi negara darurat konstitusi, punya legitimasi moral dan politik untuk melakukan intervensi sistemik.
Apa isi Dekrit itu?
Minimal memuat 3 hal berikut:
Kita Perlu Restorasi, Bukan Sekadar Reformasi
Reformasi telah membuka jalan perubahan, namun tidak menyentuh akar masalah. Maka kini saatnya kita bicara tentang restorasi konstitusi dan nilai luhur Pancasila. Kita harus berani memulihkan kembali sistem negara agar rakyat sungguh-sungguh kembali berdaulat.
Wahai Presiden, jika benar Anda percaya pada rakyat, maka kembalikan mandat itu sepenuhnya kepada mereka. Jangan biarkan rakyat hanya jadi penggembira lima tahunan. Tunjukkan bahwa Anda bukan hanya pemegang jabatan, tetapi juga pemegang nurani bangsa.
“Bangsa yang besar tidak hanya diukur dari kekuatan ekonominya, tapi dari kesediaannya menyerahkan kembali kedaulatan kepada rakyat.”