Berita

Jokowi Tak Perlu Tunjukkan Ijazah? PDIP Gagal Jalankan Mandat Konstitusi!
Berita Terbaru

Jokowi Tak Perlu Tunjukkan Ijazah? PDIP Gagal Jalankan Mandat Konstitusi!

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Pernyataan mengejutkan datang dari Politikus PDI Perjuangan, Aria Bima, yang menyebut bahwa Presiden Joko Widodo tak perlu membuktikan keaslian ijazahnya dalam menanggapi tuduhan pemalsuan dokumen. "Pak Jokowi tidak perlu membuktikan ijazah yang asli. Yang menggugat itu buktikan bahwa ijazahnya itu palsu," ujarnya di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis 24 April 2025.

Logika yang ditawarkan Aria Bima mencerminkan cara berpikir yang keliru dalam berdemokrasi. Ia mengalihkan beban pembuktian kepada publik, seolah-olah rakyatlah yang harus bersusah payah membongkar ketidakjelasan, sementara pihak yang diamanahi kekuasaan cukup duduk diam tanpa tanggung jawab moral. Padahal, dalam etika pemerintahan yang bersih dan akuntabel, transparansi adalah kewajiban, bukan pilihan.

PDI Perjuangan, sebagai partai pengusung utama Jokowi sejak Pilpres 2014, seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan integritas seluruh syarat administratif yang melekat pada calon yang mereka sodorkan ke publik. Jika hari ini ijazah Jokowi dipertanyakan, maka tanggung jawab pertamanya justru terletak pada partai pengusung. Lempar handuk dari tanggung jawab publik seperti yang dilakukan Aria Bima bukan hanya sikap defensif, tetapi bentuk kegagalan menjalankan mandat konstitusi.

Konstitusi Republik Indonesia jelas menyebut bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945). Maka, rakyat berhak penuh untuk mengetahui keaslian dokumen setiap calon pemimpin yang didorong oleh partai politik ke ruang publik. Bila partai sebagai agen pelayan rakyat tidak bisa memastikan kelayakan kandidatnya, lalu untuk apa mereka ada?

Dalam salah satu forum Maiyah, Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib menyatakan, “Pemerintah itu pelayan rakyat. Partai politik adalah agen dari pelayan rakyat. Kalau rakyat sampai harus menyelidiki sendiri ijazah presidennya, itu berarti partainya gagal menjalankan peran. Ini bukan republik, ini kerajaan yang sedang mempermainkan warganya sendiri.”

Pernyataan itu menjadi tamparan keras bagi pejabat, khususnya PDIP. Jika rakyat harus mengumpulkan bukti, mencari data ke kampus, mengajukan gugatan, dan menghadapi tekanan hanya untuk menuntut kebenaran, maka kita telah bergeser jauh dari prinsip negara hukum yang adil.

Lebih ironis lagi, verifikasi yang disebut Aria Bima sebagai bagian dari tahapan pemilu justru tidak pernah disertai transparansi publik. Sampai hari ini, ijazah asli yang menjadi polemik nasional itu tak pernah dipamerkan secara terbuka oleh pihak terkait. Lantas, bagaimana publik bisa menaruh kepercayaan jika hak dasarnya atas informasi dibungkam?

Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tak mungkin setiap partai akan berlindung di balik verifikasi prosedural, tanpa tanggung jawab etis dan moral kepada rakyat. Ini bukan lagi soal pribadi Jokowi semata, tetapi soal rusaknya sistem rekrutmen pemimpin bangsa oleh partai politik.

Maka tak berlebihan bila rakyat hari ini mulai menggugat ulang sistem ketatanegaraan pasca-amandemen. Sistem presidensial yang kita anut meletakkan kekuasaan besar di tangan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tetapi parpol menjadi satu-satunya gerbang menuju kursi itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 Amandemen Keempat. Calon Presiden hanya bisa diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Inilah akar masalahnya mengenai kekuasaan ditentukan oleh pejabat parpol, tapi ketika tanggung jawab dituntut, mereka justru lari. Maka, jika republik ini ingin diselamatkan, satu-satunya jalan adalah Revolusi Konstitusi mereformasi sistem pemilu dan rekrutmen pemimpin dari akarnya, serta menempatkan rakyat kembali sebagai pemilik penuh kedaulatan, bukan sebagai pengemis transparansi dari partai-partai “kerajaan modern”.

Jika hari ini partai politik menolak menunjukkan tanggung jawab atas pemimpinnya sendiri, jangan salahkan rakyat bila esok hari menolak tunduk